JAUHI WALI /AHLI SUFI PALSU
Orang yang mengaku dirinya wali tetapi dalam kesaksiannya tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut adalah pendusta.
Seorang wali itu tidak akan mempamerkan dan mengaku dirinya sebagai wali. Justeru seorang sufi yang benar itu tidak sesekali menyukai populariti dan dikenali. Jenis fitnah itu banyak sekali. Di antara yang banyak merosak seorang hamba adalah pengakuan seseorang menjadi wali. Bahkan sesetengah itu sampai mengaku dirinya wali quthb, dan imam mahdi. Padahal terkadang mereka bukanlah ahli yang menjaga syariat malah sebahagian mereka buruk pula adab dan akhlak.
Mereka mempesona banyak kaum muslimin dengan kehebatan ilmu hikmat kebatinan mereka, dan banyak orang yang tertipu mengikuti ajakan yang bermacam-macam mereka tanpa memikirkan apakah ajakan itu haq atau batil, benar atau salah, tidak mengikuti norma-norma yang disebutkan dalam syariat, membesarkan keesaan diri dengan ilmu kebatinan yang bukan-bukan.
Bahkan karakter seorang wali itu justeru akan cuba menyembunyikan maqam kewalian mereka dan mengedepankan tawadhu’. Wali itu tidak sesekali akan membuka jalan populariti dan juga tidak melakukan pengakuan akan kewaliannya. Bahkan kalau boleh mereka sedaya-upaya akan menyembunyikannya. Kerana itu orang yang ingin terkenal dalam hal tersebut, bukanlah ia seorang ahli tariqah yang benar.
Seorang wali itu akan menjaga hak-hak Allah dan hak-hak seorang hamba Allah dengan cara mengikuti syariat Rasulullah saw. Syarat menjadi wali adalah mahfudz (terjaga dari kemaksiatan). Ertinya terjaga dari terus-menerus berada dalam kesalahan dan kekeliruan. Apabila terjatuh kepada kesalahan, ia segara bertaubat dan kembali kepada kebenaran.
Seorang sufi adalah orang yang benar-benar menjaga adab dan akhlak. Adab dan akhlak kepada Allah, Rasulullah saw dan hamba manusia dalam bentuk praktik syariah secara total. Dan membersihkan akidahnya dari aliran-aliran yang menyimpang dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dengan demikian, syariah sejatinya pintu masuk menuju hakikat tasawwuf. Tanpa pengamalan syariah, apalagi anti-syariat, jelas tidak akan boleh masuk pada ruang tasawwuf. Tasawwuf dapat dikaitkan dengan ibadah yang berasaskan akidah benar. Maka, di kalangan ulama sufi, pengamalan syariah paling diutamakan.
Tasawwuf di sini bukan seperti faham kerohanian kaum Bathiniyah dari golongan Syiah Ismailiyah, yang dikenal kerohanian yang menggugurkan syariah. Imam al-Ghazali pernah mengingatkan tipu daya tasawuf palsu kaum Bathiniyah ini. Suatu kali Imam al-Ghazali pernah bercerita kepada muridnya, “Seandainya ada orang mengaku telah mendapat darjat tinggi dari Allah Subhahu Wata’ala, ahli tasawuf tersebut kemudian menggugurkan kewajiban syariat, maka tidak ada keraguan untuk memerangi orang tersebut”. Cerita Imam al-Ghazali tersebut dicatat oleh ulama’ sufi Zakaria al-Anshari dalam kitabnya al-Mathalib Syarh Raudh al-Thalib, I/338.
Syekh al-Junaid al-Baghdadi, guru besar para sufi, memperingatkan kemunculan orang-orang jahil yang memakai ‘baju tasawuf’ yang palsu dengan menggugurkan kewajiban syariat ini. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktiviti ibadah yang diwajibkan oleh Allah swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386).
No comments:
Post a Comment